![]() |
alat musik keroncong tugu (doc. google) |
Musik keroncong, lahir dan
berkembang di Indonesia dengan sentuhan musik tradisi bangsa Portugis yang
dikenal sebagai fado, yang biasa
dimainkan oleh pelaut dan budak kapal ketika berlayar sejak abad ke-15. Musik
ini juga dimainkan ketika bangsa Portugis berhasil mencapai wilayah Nusantara
khususnya Maluku sekitar abad ke-16 dalam misi mencari rempah-rempah. Selain
Maluku, bangsa Portugis juga singgah di Jakarta dan mendiami tempat bernama
Tugu. Lama mendiami tempat ini membuat bangsa Portugis menikahi wanita-wanita
pribumi hingga memiliki anak dan cucu.
Awal mula sebutan kata “keroncong”
karena alat musik machina yang dimainkan menghasilkan bunyai clang clong clang
clong. Dahulu masyarakat biasa memainkan alat musik bernama machina ini
(sejenis ukulele) pada sore hari setelah selesai memancing, bercocok tanam,
ataupun berburu. Pada abad ke-18 musik keroncong ini mulai menyebar ke daerah
Kemayoran, Gambir dan Kota yang aransemen musiknya lebih kebetawi-betawian dan
berbaur dengan musik tanjidor. Selain berkembang di Jakarta, musik keroncong
juga makin meluas hingga ke daerah Jawa dan sekitarnya. “Kalau di daerah Jawa,
aransemen musiknya cenderung lebih lembut dan tenang seperti karakter
masyarakat Jawa pada umumnya. Contohnya Sundari Soekotjo yang juga penyanyi
keroncong dengan suara lembutnya,” ujar Pak Guido selaku pengamat musik.
Tahun 1925-an musik keroncong makin
dikenal masyarakat dan sekitar tahun 1935 lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang
muncul, sehingga masyarakat menilai bahwa Gesang adalah pelopor musik keroncong
di Indonesia. Dari tahun ke tahun, perkembangan musik keroncong juga
bermacam-macam jenisnya mulai dari Keroncong Tempo Doeloe, Keroncong Abadi,
Keroncong Asli, Keroncong Modern, hingga Keroncong Millenium dimana muncul lagu
“Keroncong Protol” yang dibawakan oleh Bondan Prakoso & Fade 2 Black dengan
memadukan unsur rap dan iringan musik keroncong. Keroncong kini juga mulai dilestarikan oleh para kaula
muda. Salah satu komunitas di Jakarta yang masih melestarikan musik keroncong
ialah Sanggar Cafrinho Tugu yang sudah ada sejak tahun 1925. Sanggar Cafrinho
Tugu memiliki anggota tetap 8 orang dimana setiap anggota memegang peran
penting dalam memainkan alat musik keroncong seperti machina, biola, selo,
gendang, suling, kontrabass, dan seorang vokalis.
Masyarakat pun menilai
bahwa adanya musik keroncong dapat memberi warna pada industri musik tanah air
sehingga pilihan masyarakat dalam mendengarkan musik cukuplah banyak. “menurut
saya adanya musik keroncong yang masih bertahan justru mampu membuat Indonesia
semakin kaya akan budaya, sehingga musik keroncong sendiri juga patut untuk
dipertahankan,” ujar Bagas Ramadhan, guru seni budaya di salah satu sekolah di
Jakarta. Pada dasarnya setiap lagu tidak ada pengaruhnya dengan genre musik
karena lagu jenis apapun bisa dibuat dan diaransemen ulang ke dalam genre musik
apapun juga. Pemerintah selayaknya juga ikut andil dalam menjaga kebudayaan
bangsa, dengan memberi perhatian berupa anggaran dan fasilitas demi
keberlangsungan musik budaya tanah air. Dan kita pun sebagai generasi pelurus
dan penerus, sudah sepantasnya bergerak untuk melestarikan music keroncong ini.
-Fika Muflika Ismi-